Thursday, 13 April 2017

Sejarah Perahu Bercandik



 SEJARAH PERAHU BERCANDIK

Di sisi kanan dan kiri perahu dipasang cadik, semacam sayap-sayap, yang terbuat dari bambu berukuran besar. Cadik berfungsi sebagai penyeimbang saat perahu dihantam gelombang. Desain sederhana itu sudah ada sejak dahulu. Relief di Candi Borobudur peninggalan abad ke-8 Masehi,  menggambarkan bagaimana kapal-kapal bercadik digunakan oleh nenek moyang kita untuk mengarungi samudera.Keselamatan pelayaran ditunjang oleh keberadaan cadik yang seperti sayap perahu itu. Jejak perahu bercadik untuk pelayaran jarak pendek, yang paling orisinil bisa dilihat di Pantai Putih Situbondo Jawa Timur.  Saya mencoba daya tahan perahu bercadik di Pasir Putih Situbondo dalam menghadapi gelombang di tengah Selat Madura. Kami berlayar hingga di kedalaman laut 70 meter, dan ombak mencapai 1,5 hingga 2 meteran. Luar biasa. Ombak yang datang menghantam buritan tidak serta merta membuat perahu terbalik.Dari perbincangan dengan motoris perahu, rupanya desain perahu yang saya naiki itu sudah ada sejak zaman orang tua hingga kakek moyang mereka.
Perahu bercadik dalam relief  di Candi Borobudur
Relief di Candi Borobudur yang menggambarkan kehidupan masyarakat Abad ke-8 Masehi, menyisipkan gambaran soal perahu cadik Konon, Dinasti Syailendra yang menguasai Indonesia sejak abad ke 7 hingga abad 13 Masehi menggunakan teknologi cadik untuk mengarungi samudera.
Berbekal relief itu, seorang eksplorator asal Inggris, Philip Beale, mencoba merekonstruksikan  pemikiran purba tersebut. Borubudur Ship Expedition dengan kapal Samudra Raksa, kapal bercadik melakukan pelayaran selama 6 bulan pada Agustus 2003 hingga Februari 2004 dari Jakarta menuju Madagaskar, kemudian menyusuri pantai barat Afrika hingga ke Tanjung Harapan. Itulah rute pelayaran nenek moyang kita saat membawa kayu manis, sejenis rempah-rempah, dari Nusantara ke Eropa.

No comments:

Post a Comment