SEJARAH PERAHU BERCANDIK
Di sisi kanan dan kiri perahu
dipasang cadik, semacam sayap-sayap, yang terbuat dari bambu berukuran besar.
Cadik berfungsi sebagai penyeimbang saat perahu dihantam gelombang. Desain
sederhana itu sudah ada sejak dahulu. Relief di Candi Borobudur peninggalan
abad ke-8 Masehi, menggambarkan
bagaimana kapal-kapal bercadik digunakan oleh nenek moyang kita untuk
mengarungi samudera.Keselamatan pelayaran ditunjang oleh keberadaan cadik yang
seperti sayap perahu itu. Jejak perahu bercadik untuk pelayaran jarak pendek,
yang paling orisinil bisa dilihat di Pantai Putih Situbondo Jawa Timur. Saya mencoba daya tahan perahu bercadik di
Pasir Putih Situbondo dalam menghadapi gelombang di tengah Selat Madura. Kami
berlayar hingga di kedalaman laut 70 meter, dan ombak mencapai 1,5 hingga 2
meteran. Luar biasa. Ombak yang datang menghantam buritan tidak serta merta
membuat perahu terbalik.Dari perbincangan dengan motoris perahu, rupanya desain
perahu yang saya naiki itu sudah ada sejak zaman orang tua hingga kakek moyang
mereka.
Perahu
bercadik dalam relief di Candi Borobudur
Relief di Candi Borobudur yang
menggambarkan kehidupan masyarakat Abad ke-8 Masehi, menyisipkan gambaran soal
perahu cadik Konon, Dinasti Syailendra yang menguasai Indonesia sejak abad ke 7
hingga abad 13 Masehi menggunakan teknologi cadik untuk mengarungi samudera.
Berbekal relief itu, seorang
eksplorator asal Inggris, Philip Beale, mencoba merekonstruksikan pemikiran purba tersebut. Borubudur Ship
Expedition dengan kapal Samudra Raksa, kapal bercadik melakukan pelayaran
selama 6 bulan pada Agustus 2003 hingga Februari 2004 dari Jakarta menuju
Madagaskar, kemudian menyusuri pantai barat Afrika hingga ke Tanjung Harapan.
Itulah rute pelayaran nenek moyang kita saat membawa kayu manis, sejenis
rempah-rempah, dari Nusantara ke Eropa.
No comments:
Post a Comment