Peninggalan Hasil Budaya Zaman Messolitikum (Batu Tengah/Madya)
Zaman batu madya berlangsung pada
kala holosen. Perkembangan kebudayaan pada zaman bau madya berlangsung
lebih cepat daripada zaman batu tua karena pendukung kebudayaan ini
adalah Homo sapiens (manusia cerdas) makhluk yang lebih cerdas
dibandingkan dengan makhluk pendahulunya dan keadaan alam pada zaman
batu madya tidak seliar pada zaman batu tua sehingga dalam waktu kurang
lebih 20.000 tahun manusia telah mencapai tingkat kebudayaan yang lebih
tinggi dibandingkan apa yang telah dicapai manusia pada zaman
paleolitikum.
Alat batu yang digunakan pada zaman batu tua masih tetap digunakan pada zaman batu madya, bahkan dikembangkan. Perkembangan tersebut mendapat pengaruh kebudayaan dari daratan Asia sehingga memunculkan corak tersendiri.
Alat-alat dari tulang yang digunakan pada zaman batu tua memegang peranan penting pada zaman batu madya. Manusia pada zaman mesolitikum ini telah mampu membuat gerabah, yaitu benda pecah belah yang dibuat dari tanah liat yang dibakar.
Berikut peninggalan budaya pada zaman mesolitikum.
Alat batu yang digunakan pada zaman batu tua masih tetap digunakan pada zaman batu madya, bahkan dikembangkan. Perkembangan tersebut mendapat pengaruh kebudayaan dari daratan Asia sehingga memunculkan corak tersendiri.
Alat-alat dari tulang yang digunakan pada zaman batu tua memegang peranan penting pada zaman batu madya. Manusia pada zaman mesolitikum ini telah mampu membuat gerabah, yaitu benda pecah belah yang dibuat dari tanah liat yang dibakar.
Berikut peninggalan budaya pada zaman mesolitikum.
1 Kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture)
Di abris sous roche banyak ditemukan alat-alat batu dan tulang dari zaman batu madya. Abris sous roche adalah gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal. Gua-gua tersebut menyerupai ceruk untuk berlindung dari panas dan hujan.
Pada tahun 1931 Van Stein Callenfeils mengadakan penelitian pertama mengenai abris sous roche di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo (Jawa Timur).
Hasil kebudayaan yang ditemukan di Gua Lawa tersebut adalah alat-alat
dari tulang dan tanduk. karena sebagian besar alat-alat yang ditemukan
di Sampung berupa alat-alat dari tulang, maka disebut dengan kebudayaan
Tulang Sampung (Sampung Bone Culture).
2 Kebudayaan Toala (Flake Culture)
Selain di Gua Lawa, abris sous roche banyak ditemukan di Sulawesi
Selatan, terutama di daerah Lamoncong, yaitu di Gua Leang Pattae. Di
dalam Leang Pattae tersebut ditemukan flake, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Gua Leang Pattae ini didiami oleh suku Toala, sehingga oleh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman praaksara.
Oleh karena hal tersebut kebudayaan abris sous rosche di
Lamoncong disebut juga dengan kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala ini
merupakan kebudayaan mesolitikum yang diperkirakan berlangsung sekitar
tahun 3000 sampai 1000 SM.
3 Kebudayaan Kapak Genggam Sumatra (Pebble Culture)
Di sepanjang pesisir Sumatra Timur Laut, antara Langsa (Aceh) sampai
dengan Medan ditemukan bekas-bekas tempat tinggal manusia dari zaman
batu madya. Penemuan tersebut berupa tumpukan kulit kerang yang membatu
setinggi 7 meter.
Dalam bahasa Denmark, tumpukan kulit kerang ini disebut kjokkenmoddinger (sampah dapur), kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah.
Kjokkenmoddinger ini merupakan ciri utama kehidupan zaman batu
tengah yang ditandai oleh penumpukan sampah dapur berupa kulit siput dan
kerang di daerah sepanjang pantai. Tumpukan sampah tersebut akibat
setiap generasi bertempat tinggal sama sehingga mereka membuang sampah
pada tempat yang sama pula.
Hal tersebut membuktikan juga bahwa mereka sudah hidup menetap. Dengan kjokkenmoddinger tersebut dapat memberikan informasi bahwa manusia purba pada zaman ini umumnya bertempat tinggal di tepi pantai.
Dr. P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 melakukan
penelitian di Bukit Kerang di sepanjang pantai timur Sumatra, yaitu
antara Langsa dan Medan. Hasil penelitian tersebut yaitu banyak
ditemukan kapak genggam. Kapak genggam ini berbeda dengan kapak genggam
pada zaman paleolitikum.
Dalam hal pembuatannya jauh lebih halus. Kapak genggam ini disebut pebble
atau kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan tempat
penemuannya. Bentuk kapak genggam ini bulat, dibuat dari batu kali
dengan cara membelah batu kali menjadi dua bagian dan bagian belahan
tersebut diasah lebih lanjut sehingga menjadi agak halus.
Selain pebble ditemukan juga kapak pendek (hache courter). Kapak pendek (hache courter)
adalah sejenis kapak genggam yang bentuknya kira-kira setengah
lingkaran, dibuat dengan memukuli dan memecahkan batu tanpa diasah,
tajamnya terdapat pada sisi yang lengkung.
Hasil budaya lain yang cukup menonjol pada zaman mesolitikum adalah
lukisan gua. Lukisan gua ini diteliti oleh dua orang bersaudara yaitu Roder dan Galis.
Lukisan gua yang diteliti oleh mereka terutama yang ada di Papua. Dari
hasil penelitian Roder dan Galis, terdapat bukti bahwa lukisan tersebut
dibuat dengan tujuan sebagai berikut.
- Sebagai bagian dari ritual agama, seperti upacara untuk menghormati nenek moyang, upacara memohon kesuburan, dan upacara meminta hujan.
- Untuk keperluan ilmu magis.
- Memperingati peristiwa penting yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka.
Lukisan gua tersebut hampir menyebar di seluruh kepulauan Indonesia
terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Hal yang menarik dari
lukisan gua ini adalah tema dan bentuk lukisan menunjukkan kemiripan
antara yang satu dengan yang lain, walaupun lukisan tersebut ditemukan
di dua tempat berbeda.
Lukisan gua ini sudah mengenal teknik pewarnaan. Untuk warna merah
berasal dari hematite (oksida besi atau oker merah), warna putih dan
kaolin (dapur), dan warna hitam terbuat dari arang atau mangan dioksida.
No comments:
Post a Comment